Minggu, 28 April 2013

Jadi Anggota Dewan Modal Ijazah Paket C

Sekitar 30 persen calon legislatif (caleg) di Bangka Belitung menggunakan ijazah Paket C untuk lolos seleksi menjadi anggota dewan. Banyak kalangan menganggap, mereka terpilih dengan Paket C ini tak akan mampu mengemban amanat rakyat.

Menurut Djamilah Mahari SH, Anggota KPUD Bangka Belitung, latar belakang pendidikan calon legeslatif (caleg) di Bangka Belitung untuk pemilu 2009 ini sangat beragam. Mulai dari jenjang SMA sampai pascasarjana (S2), dan ada juga yang hanya bermodalkan ijazah Paket C. �Sekitar 30 persen calon legeslatif berijazah Paket C,� kata Djamilah kepada Metro Bangka Belitung, di ruang kerjanya, pekan lalu.

Uniknya, dari yang beberapa calon yang bermodalkan pendidikan Paket C  ini, ada yang
hanya berbekal surat keterangan dari Diknas. �Ini terjadi karena ijazahnya belum diterima. Karena itu kami minta surat keterangan dari Diknas untuk menerangkan bahwa yang bersangkutan  memang benar telah lulus ujian hanya ijazahnya saja yang belum ke luar,� terang Djamilah.
Sementara itu Ibrahim, pengamat politik dari Universitas Bangka Belitung, menilai, caleg yang berbekal Paket C ini tak akan membawa perubahan bagi suatu daerah jika ia telah menjadi anggota dewan. Ibrahim mengatakan, jika mereka terpilih menjadi anggota dewan, maka tak akan mengerti tentang mekanisme kerja. Ia menjadi pendengar pasif dan tak mampu membaca arah kebijakan dari eksekutif. 

�Yakinlah bahwa kualitas kontrol dari lembaga legeslatif tidak akan berjalan secara maksimal, karena anggotanya tidak mengerti mekanisme kerja mereka,� kata Ibrahim sembari mengharapkan ke depannya minimal anggota legeslatif harus berpendidikan sarjana.
Tak jauh berbeda dengan Ibrahim, Dharma Sutomo, Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menilai, seorang caleg haruslah berkualitas dan mampu menerjemahkan konsep intelektualnya untuk menjalankan roda pemerintahan. 

�Saat ini, kualitas caleg menjadi pertimbangan dalam menghadapi pemilu 2009. Kini yang berperan menjalankan roda pemerintahan ini adalah eksekutif dan legislatif. Keduanya harus kuat. Jadi yang dibutuhkan orang-orang yang dapat menterjemahkan konsep intelektual dan memiliki keberpihakan kepada rakyat,� ujar Dharma. 

Dalam penetuan caleg sendiri, Partai Gokar membuat kebijakan bahwa persyaratan caleg untuk tingkat II menimal memiliki ijazah SLTA dan caleg tingkat I ijazah S1.
Sementara itu H Haryadi, SE, MBA, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Bangka Belitung mengatakan, dalam perenkrutan caleg di partainya, diperbolehkan menggunakan ijazah Paket C. Namun dari keseluruhan caleg Hanura yang menggunakan ijazah Paket C hanya satu orang, yang berasal dari daerah pemilihan Bangka Barat.
Di PDIP pun, kebijakan partai tidak mempermasalahkan pencalonan caleg menggunakan ijazah Paket C. �Berdasarkan aturan yang ada minimal pendidikannya SMA/sederajat, namun sekarang caleg-caleg dari PDIP banyak yang S1 bahkan melebihi dari 30 persen dari jumlah caleg yang ada. Juga ada yang tamat dari Paket C, akan tetapi bukan Paket C murni, melainkan Paket C persamaan. 

Artinya mereka menjalani pendidikan selama 3 tahun, tetapi tidak lulus. Maka mereka melakukan tes persamaan di Paket C, berbeda dengan Paket C murni kebanyakan tidak ikut pendidikan tahu-tahu sudah ada ijazah Paket C. Ini perlu dipahami oleh masyarakat bahwa Paket C murni berbeda dengan Paket C persamaan,� jelas Ismiryadi, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Kepulauan Bangka Belitung.

Penggunaan Paket C dalam pencalonan pun diberlakukan juga di Partai Gerindra. Menurut H MA Ramli Sutanegara, Ketua DPD Gerindra Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada beberapa caleg dari partainya yang mengunakan Paket C untuk merebut kursi DPRD. Namun yang perlu dipahami, status pendidikan bukanlah hal utama, yang penting bagaimana caleg tersebut mampu memberdayakan kemampuannya. 

�Tetapi tolak ukur dari caleg tersebut tidak hanya dari status pendidikan saja, tetapi dilihat dari kemampuan dan kemauan yang dimilikinya,� ujar Ramli.
Sepi Komentar       
Berdasarkan UU No 10/2008, sebelum ditetapkan sebagai DCT, calon legeslatif juga harus melewati �uji kelayakan� sebagai calon legeslatif dari masyarakat. Karena itu, KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mempublikasikan DCS kepada masyarakat pada tanggal 26 September 2008 lalu. KPU juga memberikan tempo 10 hari kepada masyarakat pascapengumuman DCS untuk menanggapi calon-calon yang tertera dalam DCS tersebut.  

Selain diumumkan di beberapa media massa lokal, DCS tersebut juga ditempel di tembok ruang pengumuman Kantor KPUD yang menyerupai gambar garasi mobil. Berbeda dengan di media massa, DCS yang diumumkan di Kantor KPUD dilengkapi dengan kopian foto calon ukuran 4 x 6. Namun tidak seluruh foto bisa dilihat jelas. Ada yang hanya berbentuk guratan hitam dan bahkan seluruh isi fotonya legam tanpa gambar.

Sayangnya sampai hari terakhir perpanjangan, 9 Oktober 2008, DCS tersebut sepi dari tanggapan masyarakat. �Sebenarnya banyak tanggapan dari masyarakat, tapi bentuknya tidak formal seperti melalui SMS dan telepon. Tapi bagaimana kami menindaklanjutinya bila tidak ada dasar yang nyata, akhirnya terpaksa kami abaikan,� kata Djamilah.
Namun begitu, hanya satu tanggapan yang melalui surat dengan disertai identitas yang bernama nama Muhamad Nor warga Toboali yang mengindikasikan ijazah salah satu calon palsu. �Selain itu ada juga beberapa surat tanggapan yang masuk namun tanpa identitas,� kata Djamilah. 

Sedangkan Ibrahim menilai, minimnya tanggapan masyarakat tentang caleg yang diumumkan KPU dikarenakan beberapa hal. Pertama, masyarakat sudah jenuh tentang hal-hal yang berbau pemilu. Masyarakat jenuh lanjut Ibrahim, timbul karena hampir setahun sekali diadakan pemilu. �Bahkan dalam konstelasi pesta demokrasi di Indonesia, pilkada dilaksanakan tiga hari sekali. Selain itu politik sendiri tidak mampu memberikan perubahan dalam kehidupan masyarakat,� kata Ibrahim.
Yang kedua, karena DCS yang diumumkan KPU tidak secara mendetail. �Bagaimana masyarakat akan berkomentar jika hanya nama saja tanpa track record yang lain. Nah ini yang membuat masyarakat apatis terhadap DCS,� terang Ibrahim.

(M-102/M-103/M-105/M-EDR)